Diksi  

Babak Baru Bisnis Haram : Ketika Hukum Tak Lagi Berkutik di Tangan Bandar

“Ada yang lebih kebal dari Covid, lebih licin dari belut, dan lebih kebal hukum dari KPK: namanya Kaen, juragan togel Langsat yang hidup di negeri tanpa rem malu.”

Di Rinai, Kabupaten Langsat, hukum bukan lagi soal pasal. Ia soal siapa yang pegang kendali. Dan di sinilah, seorang pria berinisial Kaen hidup tenang meski dagangannya adalah haram nomor satu: Togel Hongkong.

“Bang, jangan tulis nama saya ya. Tapi kalau mau tahu, omzetnya itu lho, bisa Rp80 juta per hari. Itu baru yang Hongkong. Belum yang lain,” ujar seorang warga sambil celingak-celinguk di Simpang Padang Rinai, Selasa siang (6/5/2025).

Uang segar mengalir setiap malam, dari tetikus kecil di warung kopi, HP Android para “agen”, sampai ke meja koordinasi yang—anehnya—beraroma parfum dinas.

Kaen memang bukan sembarang pengelola. Wilayah kekuasaannya menjalar seperti kabel PLN: Padang Tulang, Batang Serang, sampai Rawit Nyeberang. Kalau ada peta bisnis gelap Langsat, namanya mungkin ditulis dengan font tebal.

“APH pun Minta Jatah Liburan”

Yang bikin geleng-geleng bukan omzetnya. Tapi pengakuannya.
“Ampun bang… capek juga. APH banyak minta bantuan. Ada yang mau liburan sama keluarganya, minta disupport. Kadang tekor juga saya,” kata Kaen suatu ketika sambil menghembuskan asap rokok Djarum Super-nya.

Lucu, miris, atau ironis—tergantung sudut pandang. Tapi jelas, ini bukan kisah di drama Netflix. Ini nyata dan terjadi di tanah Langsat, tanah yang katanya subur oleh iman dan hukum.

Hukum yang Pura-Pura Mati

Sampai artikel ini ditulis, Kanit Reskrim Polsek Rinai, IPDA M. Sofan Nasution, masih belum merespons. WhatsApp centang dua, tapi tak dibalas. Mungkin sedang sibuk membalas yang lebih penting: atau justru… lebih menguntungkan?

Seorang pengacara muda yang aktif di salah satu LSM di Langkat angkat bicara:
“Ini bukan soal hukum yang tak tahu, tapi soal hukum yang disuruh diam. Kalau kita terus diam, ya, akan tetap begini terus.”

Senyapnya Suara, Ramainya Setoran
Yang lebih menyakitkan bukan cuma Kaen tak tersentuh. Tapi bagaimana masyarakat seolah sudah terbiasa.
“Bang, ngapain dilawan? Nanti malah kami diciduk. Udah sering gitu. Mending diam,” ucap seorang pemuda sambil menyeruput kopi tubruk.
Apatisme jadi tameng. Bukan karena bodoh, tapi karena lelah.

Satu Nama, Seribu Tanda Tanya

Siapa sebenarnya Kaen? Dari mana datang kekuatannya? Bagaimana bisa bisnis haramnya berkembang seperti franchise warung kopi?

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin belum punya jawaban. Tapi satu hal pasti: selama aparat penegak hukum masih sibuk koordinasi buat liburan, dan masyarakat hanya bisa curhat sambil ketakutan, maka Kaen akan terus berjaya.

Akhir kata, ini bukan sekadar soal togel. Ini soal harga diri daerah, integritas hukum, dan seberapa lama lagi kita mau bungkam.
Kalau kamu diam, Kaen menang.
Kalau kamu bersuara, siapa tahu kita bisa mulai dari Langsat.

“Karena hukum itu seperti nasi kotak. Kalau yang pegang lapar dan bisa disuap, isinya jadi milik siapa saja.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: