DPRD SUMUT, suarametro.net – Ribuan massa Al Washliyah Sumut mengepung Kantor Bupati Deli Serdang, Senin pagi kemarin. Aksi dipicu sengketa lahan wakaf 35 ribu meter persegi yang tak kunjung diselesaikan. Gedung SMP Negeri 2 Galang berdiri di atas tanah milik Al Washliyah tanpa sewa. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dinilai melanggar kesepakatan dan putusan hukum yang berlaku.
Sengketa yang Membakar Emosi
Ribuan massa dari organisasi Islam Al Washliyah memadati Kantor Bupati Deli Serdang, Senin, 26 Mei 2025. Mereka mendesak Bupati dr Asri Ludin Tambunan menyelesaikan konflik atas tanah wakaf seluas 35.000 meter persegi di Desa Petumbukan, Kecamatan Galang. Di atas lahan itu berdiri SMP Negeri 2 Galang, bangunan yang telah digunakan Pemkab Deliserdang lebih dari tiga dekade.
Masalahnya, tanah itu milik sah Al Washliyah. Penggunaan tanah oleh Pemkab tidak disertai sewa, meskipun Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan hukum sejak 1989.
Putusan MA Nomor 2938/Pdt/1989
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 2938/Pdt/1989 menyatakan bahwa Pemkab Deli Serdang berkewajiban membayar sewa atas penggunaan tanah milik Al Washliyah tersebut. Putusan itu bersifat inkrah, berkekuatan hukum tetap, dan tidak bisa diganggu gugat.
Namun hingga saat ini, lebih dari 35 tahun berlalu, Pemkab tidak pernah membayarkan sewa tersebut. Al Washliyah menyatakan bahwa perbuatan itu melanggar prinsip penghormatan terhadap aset wakaf. “Ini bukan hanya tentang tanah, ini tentang pelanggaran terhadap hukum dan komitmen negara terhadap wakaf,” kata Ketua PW Al Washliyah Sumut, Dedi Iskandar Batubara.
Perjanjian Tahun 2024 dan Janji Hibah yang Gagal
Pada 2024, Pemkab Deli Serdang melalui Dinas Pendidikan membuat perjanjian pemakaian bangunan sembari menunggu proses hibah rampung. Bangunan sekolah di atas tanah Al Washliyah akan digunakan oleh MTs Al Washliyah. Namun, dalam perjanjian itu tidak terdapat tenggat waktu pemakaian.
“Belum sampai setahun, kami dua kali diminta mengosongkan bangunan. Ini menyalahi logika hukum,” ujar Dedi. Ia menegaskan bahwa Al Washliyah tidak pernah mencabut hak milik atas tanah tersebut, dan secara de jure masih menjadi pemilik sah berdasarkan akta wakaf.
Emosi Meledak di Gerbang Pemerintah
Aksi massa sempat memanas. Ribuan pengunjuk rasa dari seluruh daerah Sumatera Utara datang dengan satu suara: tolak pengosongan bangunan. Mereka menganggap Pemkab Deli Serdang tak hanya lalai, tetapi juga mencederai martabat umat.
Pagar Kantor Bupati roboh. Bupati Asri Ludin yang awalnya tak muncul, akhirnya keluar menemui massa, namun hanya sebentar. Wakil Bupati Lomiom Suwondo mencoba meredam emosi, namun malah ditolak. “Kami tidak mau ban serap yang ngomong. Bupati yang harus bertanggung jawab!” seru Ketua ISARAH, Abdul Thaib Siahaan.
Data Hukum dan Bukti Sah Milik Al Washliyah
Berdasarkan dokumen yang dimiliki Al Washliyah, tanah seluas 35.000 meter persegi di Desa Petumbukan merupakan tanah wakaf resmi yang didaftarkan atas nama organisasi. Selain itu, Al Washliyah mengantongi putusan Mahkamah Agung nomor 2938/Pdt/1989, serta surat perjanjian pinjam pakai tahun 2024 yang ditandatangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Deli Serdang.
Secara hukum, Pemkab tidak memiliki alas hak atas tanah tersebut. Bahkan dalam hukum agraria Indonesia, pemanfaatan tanah wakaf tanpa izin atau pembayaran imbalan sewa termasuk bentuk pengingkaran terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Pasal 42, disebutkan bahwa tanah wakaf tidak boleh dialihkan peruntukannya kecuali untuk kepentingan umum dengan syarat dan izin khusus.
DPRD Sumut Ikut Bersikap
Ketua DPRD Sumatera Utara Ricky Anthony menyatakan dukungan penuh terhadap perjuangan Al Washliyah. Politisi muda dari Partai NasDem ini menyatakan, tanah wakaf harus dihormati dan tidak boleh dikangkangi oleh pemerintah daerah.
“Saya akan kawal persoalan ini sampai tuntas. Kami berdiri bersama rakyat dan keadilan,” ujar Ricky. Pernyataannya memberi angin segar bagi Al Washliyah, sekaligus tekanan tambahan bagi Pemkab.
Suara Wakaf, Suara Keadilan
Bagi Al Washliyah, ini bukan hanya perjuangan mempertahankan aset. Ini perlawanan terhadap sikap arogan birokrasi yang mengabaikan hukum dan hak wakaf umat. Mereka menuntut keadilan ditegakkan, bukan hanya di atas kertas, tapi dalam tindakan nyata.
“Kalau bangunan itu milik Pemkab, silakan angkat dan bawa sendiri. Tanahnya tetap milik kami,” kata Abdul Thaib. Pernyataan ini mengunci satu sikap: tanah wakaf adalah garis merah. (MAS)