Kritik dan harapan terhadap komitmen Presiden Prabowo untuk menghapus sistem outsourcing di tengah momentum Hari Buruh 2025.
Jakarta — Langit pagi di Monas tampak cerah saat ribuan buruh berkumpul memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025. Di tengah riuh sorak massa, satu suara menggema dari panggung utama: Presiden Prabowo Subianto secara tegas menyatakan komitmen untuk menghapus sistem outsourcing di Indonesia.
“Outsourcing harus kita akhiri. Tapi langkahnya harus bertahap, demi menjaga stabilitas dan kepentingan ekonomi nasional,” ujar Presiden dalam pidato yang penuh semangat namun juga nuansa kehati-hatian.
Pidato itu langsung disambut antusias oleh sebagian peserta aksi. Namun, di antara barisan buruh yang hadir, tidak semua bersorak riang. Ponidi (45), seorang buruh asal Karawang, memilih menyimak dengan raut muka datar. ia menyatakan skeptis terhadap janji tersebut.
“Outsourcing ini sudah penyakit lama. Dari dulu tiap ganti presiden dibilang mau dihapus, tapi tetap saja jalan terus,” ungkapnya.
Bagi Ponidi, pernyataan Presiden terdengar lebih seperti narasi kampanye daripada sebuah komitmen konkret. Ia menyebut buruh sudah terlalu sering diberi harapan, namun ujung-ujungnya harus kembali menghadapi kenyataan pahit ketidakpastian kerja dan penghasilan yang minim.
Meski begitu, suara lain tetap terdengar. Samino, rekan Ponidi yang juga buruh kontrak, mengapresiasi langkah Presiden. Baginya, penghapusan outsourcing adalah langkah penting yang sudah lama ditunggu-tunggu.
“Kalau itu benar-benar dihapus, saya akan sangat mendukung. Tapi jangan cuma wacana,” ujarnya.
Sistem outsourcing memang telah menjadi salah satu isu krusial dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia. Banyak buruh merasa terjebak dalam skema yang melegalkan upah murah, minimnya perlindungan hukum, dan tidak adanya kepastian kerja. Mereka bekerja tanpa jaminan sosial yang layak dan mudah dipecat kapan saja.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo juga mengumumkan pembentukan dua lembaga baru: Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dewan ini akan berperan sebagai penasihat Presiden dalam menyusun arah kebijakan ketenagakerjaan, termasuk dalam proses transisi penghapusan outsourcing. Sementara Satgas PHK ditujukan untuk menangani kasus-kasus PHK sepihak yang kerap menimpa buruh outsourcing.
Namun langkah-langkah ini dinilai masih terlalu normatif oleh sebagian kalangan. Mereka menilai bahwa untuk membuktikan keseriusan, Presiden perlu bertindak lebih konkret, seperti mengeluarkan perppu, keppres, atau mendorong perubahan legislasi melalui DPR.
“Kalau serius mau hapus outsourcing, ya bikin saja perppu atau keppres. Atau dorong partai-partai koalisi di DPR untuk revisi undang-undang,” kata Ponidi. Ia menegaskan, dengan dominasi politik di parlemen yang dikuasai koalisi pemerintah, tidak ada alasan teknis untuk menunda langkah strategis tersebut.
Kritik semacam ini bukan tanpa dasar. Sejarah kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan bahwa janji-janji penghapusan outsourcing telah disuarakan sejak era pemerintahan sebelumnya, namun tidak kunjung terealisasi secara menyeluruh.
Dari sisi pemerintah, Prabowo memang menekankan bahwa penghapusan outsourcing harus dilakukan secara bertahap dan realistis. Ia menyebut perlunya mekanisme transisi yang tidak menimbulkan gejolak bagi dunia usaha dan tetap menjaga iklim investasi.
“Kita ingin hapus outsourcing, tapi kita juga harus realistis. Kita harus menjaga kepentingan para investor juga,” ucapnya.
Pernyataan ini menunjukkan dilema klasik dalam kebijakan publik: antara melindungi buruh dan menjaga kenyamanan dunia usaha. Dilema inilah yang menuntut pemerintah untuk menemukan keseimbangan—sebuah jalan tengah yang tidak mengorbankan hak pekerja, tapi juga tidak menakut-nakuti pelaku usaha.
Janji penghapusan outsourcing oleh Presiden Prabowo adalah angin segar bagi dunia ketenagakerjaan. Namun, di tengah euforia pidato, suara seperti Ponidi menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik dibangun bukan dari janji, tetapi dari tindakan nyata. Jika pemerintah sungguh-sungguh, maka langkah hukum dan kebijakan konkret harus segera menyusul, bukan ditunda demi alasan teknis. Sebab, bagi jutaan buruh yang hidup dari kontrak ke kontrak, waktu bukanlah sekutu—tetapi tekanan yang terus menghimpit. (ALD)