Medan – Sudah beberapa bulan terlewati, sejak Februari 2024 lalu. Perusak hutan lindung di Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat belum juga tertangkap. Malah, antek mafia perambah hutan kian bebas menebar teror di tengah masyarakat yang melindungi hutan.
Nestapa nelayan di desa pesisir Langkat ini pun kian mendalam. Warga di sana, justru ketakutan dengan ancaman aparat penegak hukum, terkait perusakan sebuah rumah semi permanen yang dibangun mafia di areal hutan.
Dari investigasi aktivis lingkungan, areal pada kordinat 4.01332 LU – 98.48289 BT itu tercatat sebagai kawasan hutan lindung. Seusai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan Republik Indonesia Nomor SK.6609/MenLHK-PKTL/KUH/PLA/2/10/2021.
Sejak Ilham Mahmudi, salah seorang warga yang ditangkap polisi pada 18 April 2024 lalu atas tuduhan perusakan rumah di kawasan hutan secara beramai-ramai, antek mafia pun merasa besar kepala. Bersama aparat kepolisian, mereka kerap masuk ke pemukiman warga sembari mengancam akan menangkap tersangka lainnya.
“Padahal pihak Polres Langkat sudah mengakui kalau persoalan perambahan hutan lindung sudah ditangani Polda Sumut. Tapi kok ‘mesra’ kali antek mafia dan oknum polisi masuk ke pemukiman warga menebar teror,” ketus Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti, Minggu (19/4/2024) sore.
Dalam hal tersebut, kata aktivis lingkungan ini, terlihat sangat kontras asal muasal persoalan tersebut. Di mana, warga melakukan perusakan karena laporan mereka terkait perambahan hutan lindung mangrove lamban direspon.
Hanya satu unit ekskavator yang ditahan polisi. Tapi antek-antek mafia seperti Sar alias O, Sup dan BJP masih bebas berkeliaran. Bahkan mereka diduga bekerja sama dengan aparat kepolisian memburu warga yang justru memerangi mafia perambah hutan.
Tak hanya Ilham Mahmudi, dua warga Kwala Langkat lainnya seperti Safi’I dan Taufik juga ditangkap polisi. Dua nelayan ini, dijemput paksa oleh Kanit Polsek Tanjung Pura IPTU Kaspar Napitupulu bersama anggotanya dan Sar alias O saat sedang mencari nafkah di laut pada Sabtu, 11 Mei 2025 lalu. Tuduhannya, nelayan itu disebut-sebut ikut melakukan perusakan rumah Sar alias O pada 18 April 2024.
“Informasi dari warga, saat melakukan penangkapan, polisi tidak ada menunjukkan dokumen apa pun. Patut diduga, Kanit Polsek Tanjung Pura menjalankan tugasnya secara ilegal, tanpa ada Surat Perintah Penangkapan (SPKap),” terang Mimi.
Dalam sebuah rekaman CCTV yang beredar, Safi’i terlihat menghadang sekelompok massa yang hendak melakukan perusakan rumah Sar alias O. Tapi nyatanya, Safi’I malaha dipaksakan untuk mendekam di sel tahanan Polsek Tanjung Pura.
Begitu juga dengan Taufik, warga desa terebut menegaskan, nelayan ini tak terlibat terkait perusakan tersebut. Taufik tak ada melakukan apa pun saat peristiwa tersebut berlangsung. Ia hanya melihat peristiwa itu dari jauh. Namun, Taufik juga bernasib sama dengan Safi’i.
Parahnya lagi, usai melakukan penangkapan terhadap Safi’I dan Taufik, Kaspar malah terlihat duduk mesra bersama Sup, antek mafia perambah hutan. Kedekatan oknum polisi dengan antek mafia tersebut, patut dicurigai sebagai sebuah konspirasi.
“Hal ini bukan hanya sebagai isu nasional, tapi juga sudah mencuat ke dunia internasional. Kenapa Polda Sumut sangat lamban mengungkap hal ini. Apakah Kapolda Sumut gak punya nyali untuk menangkap mafia perambah hutan lindung,” ketus Mimi.
Saat masyarakat lemah yang dituding melakukan pelanggaran hukum, aparat kepolisian bergerak cepat menangkapnya. Namun saat mafia melakukan tindak pidana yang jauh lebih besar, hukum malah terkesan diam di tempat.
“Dalam mengangai perkara ini, polisi jangan sampai blunder. Hutan yang semestinya dijaga bersama, kok malah dibiarkan dirusak mafia. Ingat, hutan mangrove kita selalu menjadi perhatian dunia. Siapa pun yang terlibat dalam merusaknya, akan kita perangi bersama,” tegas aktivis wanita ini.
Secara tekstual, undang-undang 18/2013 memberikan legalitas atau dasar hukum, keberadaan masyarakat dikawasan hutan lindung dalam menjaga hutan. Sehingga dapat dimaknai, undang-undang ini berkontribusi dalam melindungi eksistensi mayarakat dalam upaya menjaga dan mencegah kerusakan hutan.
Masyarakat lokal semestinya menjadi bagian dari orang yang harus dibela negara. Intrumen internasional memandatkan, negara wajib menjaga keberadaan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) / Human Rights Defenders (HRDs). Termasuk masyakarat yang memastikan perlindungan kawasan hutan yang dilindungi.
Beberapa waktu lalu Kasat Reskrim Polres Langkat AKP Dedi Mirza membenarkan terkait penangkapan Ilham beberapa waktu lalu. “Penangkapan itu, terkait adanya peristiwa 170 (tindakan dengan terang – terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan tehadap orang atau barang) yang dilaporkan seseorang. Terkait persoalan kawasan hutan, Polda Sumut yang menanganinya,” kata Dedi Mirza via telepon selulernya. (Ahmad)